Sabtu, 06 Mei 2017

DH: Tahun Ketiga


OPKIIS Junior

            Seusai Idul Fitri 2012. Bagiku, tahun ketiga di Kafila adalah tahun yang paling berkesan. Begitu banyak pengalaman yang membekas dan meninggalkan kesan mendalam. Diawali dengan adanya kegiatan studi di Kampung Inggris Pare yang melibatkan hampir semua santri senior dan beberapa guru. Rombongan belajar Kafila dibagi menjadi beberapa gelombang. Gelombang pertama diikuti oleh semua santri SMA, alumni angkatan pertama Kafila, dan beberapa guru kami, seperti Ustadz Rudi (guru matematika), Ustadz Andi (guru Bahasa Indonesia), Ustadz Furqon (guru Bahasa Inggris), dan beberapa guru tahfidz seperti Ustadz Khosyi, Ustadz Suriyadi, dan Ustadz Zain. Sisanya aku lupa. Sementara gelombang kedua hanya diikuti oleh kelasku, tentunya setelah kelas XII kembali dari sana. Adapun gelombang ketiga, akan diikuti oleh kelas VIII SMP, meskipun gelombang yang satu ini baru akan berjalan pada semester mendatang.

            Dengan adanya kegiatan studi ke Kampung Inggris selama 3 bulan, secara otomatis roda kepengurusan organisasi (OPKIIS) harus ada yang menggantikan sementara. Aku dan beberapa temanku dari kelas IX dan sebagian santri kelas VIII diminta kepala asrama untuk menjalankan roda kepengurusan OPKIIS sementara. Hanya beberapa bagian penting saja yang akan tetap berjalan, seperti konsumsi, bahasa, peribadatan, logistik, kedisiplinan, dan kebersihan. Adapun bagian lain seperti jurnalistik, dan bagian-bagian yang jarang berkiprah, untuk sementara dinon-aktifkan. Kepengurusan OPKIIS yang kami jalani, kami sebut “OPKIIS junior”.

            Aku sendiri diberi amanah untuk memegang bagian Dikjar (Kependidikan & Pengajaran) yang membawahi bagian peribadatan yang dipegang oleh Naufal dan Basyir, dan bagian bahasa yang dipegang oleh Syahid dan Daffa. Selain membawahi bagian bahasa dan peribadatan, akupun memiliki tugas khusus, yaitu mendisiplinkan santri sebelum masuk kelas, mulai dari kedisiplinan seragam dan kehadiran di waktu upacara. Luqman, sudah tak diragukan lagi dia menjadi ketuanya. Kami dikukuhkan sebagai pengurus OPKIIS junior pada saat upacara apel pagi berlangsung. Selama OPKIIS junior menjalani tugasnya, tidak ada program yang ditambah. Kami hanya menjalankan program yang sudah ada. Seperti misalnya pada bagian bahasa, kami hanya berfokus pada program muhadatsah dan pencatatan pelanggaran bahasa, sementara bagian peribadatan berfokus pada penjadwalan imam sholat serta muadzin. Sekali waktu, bagian peribadatan juga mengadakan khataman Alquran.

            Ketika santri SMA berangkat ke Pare, kami merasa sedikit lebih bebas, khususnya kelasku. Karena tidak ada senior yang mengatur kami selain para guru. OPKIIS junior merasa leluasa untuk bisa berkiprah. Jika sebelumnya kami dilarang untuk keluar pada malam hari, maka ketika menjabat sebagai pengurus OPKIIS junior kami bisa memanfaatkan momen ini untuk bisa keluar malam, menikmati suasana di luar sembari membeli keperluan organisasi.

Berangkat ke Kampung Inggris

            Sebulan kemudian, kelasku akhirnya mendapat giliran untuk bisa berangkat ke Kampung Inggris. Beberapa hari sebelum keberangkatan, guru bahasa Arab kami, Syaikh Abdurrahman memberikan kami selembar kertas besar yang diisi dengan pesan-pesan penting untuk kami. Selain itu, beliau juga berpesan kepada kami agar tidak melupakan bahasa Arab yang sudah dipelajari sekalipun kami berada di kampung Inggris. Kami berangkat dengan ditemani Ustadz Dhani dan Ustadz Achmad Alwasim. Dari Stasiun Tanah Abang yang penuh sesak oleh orang-orang, kami berangkat menuju Kampung Inggris. Seumur hidupku, baru kali ini aku berkunjung ke daerah Jawa Timur. Sebelumnya, daerah terjauh yang pernah kukunjungi adalah Purbalingga,itupun ketika aku masih kelas 5 SD. Perjalanan ke Kampung Inggris memakan waktu sekitar 16 jam, karena kereta yang kami tumpangi berhenti di banyak stasiun, ditambah dengan mobil yang kami tumpangi dari stasiun sempat mengalami masalah di jalan. Kami berangkat dari Jakarta hari Sabtu sore, dan tiba di Kampung Inggris hari Ahad siang. Yang kubayangkan tentang Kampung Inggris waktu itu adalah, semua warganya berbicara menggunakan bahasa Inggris, baik mereka yang merupakan warga asli maupun pendatang. Namun, semua itu tidak benar sepenuhnya. Warga asli Kampung Inggris justru malah berbicara menggunakan bahasa Jawa. Membingungkan memang.

            Sembari beristirahat setelah perjalanan panjang, aku sempat berjalan-jalan sejenak untuk melihat suasana di kampung ini. Lingkungannya memang masih segar seperti kampung-kampung pada umumnya, hanya saja disini lembaga-lembaga kursus bahasa asing banyak berdiri. Dan jangan bayangkan lembaga kursus di Pare semewah lembaga kursus yang ada di kota-kota. Disini, sebagian besar lembaga kursus bahasa asing tidak jauh berbeda dengan rumah warga. Bedanya, rumah yang menyediakan program kursus dipasang spanduk dengan nama-nama yang variatif, seperti Mr. Bob, Valliant, Rhyma, Simple English Club, Webster, dan lain-lain. DIantara sekian banyak lembaga kursus yang ada, lembaga kursus tertua disini adalah BEC (Basic English Course)  yang dikepalai oleh Mr. Kalend Ossen. BEC meluluskan banyak alumni yang di kemudian hari mereka ikut mendirikan lembaga kursus sendiri, hingga jumlahnya menjamur sampai saat ini. Sebagian dari mereka ada yang mengabdikan dirinya di BEC, sebagian pula ada yang mengabdikan diri di lembaga kursus yang lain.

            Selain lembaga kursus, rumah yang mnyediakan jasa laundry juga menjamur disini dengan harga yang saling bersaing. Harga laundry termurah yang pernah kutahu ada di Muslim Laundry. Untuk setiap kilo pakaian yang akan dicuci, harganya hanya Rp 2.500,-.
Jauh berbeda dengan Jakarta yang per kilo pakaian dihargai Rp 7.000,-. Toko buku pun tak mau ketinggalan. Disini, buku-buku referensi pelajar bahasa Inggris dihargai tak lebih dari Rp 20.000,-. Kamus saku Oxford saja, yang kutahu biasanya seharga Rp 90.000,-, disini bisa dihargai Rp 10.000 saja, tentunya dengan kuaitas kertas dan sampul yang berbeda dengan aslinya. Di sepanjang jalan yang terdapat lembaga kursusnya, kulihat para penjual bakso keliling dan cilok (disini cilok biasa disebut Pentol), serta Pempek berjejeran. Sungguh menyenangkan suasana di kampung ini.

Puas berkeliling, aku mengikuti acara pelepasan santri kelas XII yang akan kembali ke Kafila. Mereka pulang, kami datang.

            Memang, program studi bahasa Inggris untuk kelas kami ( IX ) dan kelas XII hanya sebulan, mengingat kami juga harus mempersiapkan diri untuk menghadapi Ujian Nasional. Sementara kelas X dan XI harus mengikuti program bahasa Inggris selama 3 bulan, dan untuk alumni selama 6 bulan. Jika kakak kelas  dikursuskan di lembaga bernama Happy English Course (HEC), kelasku dikursuskan di lembaga ELFAST (English Language as Foreigner Application Standard). Di Pare, penginapan kami dibagi menjadi beberapa tempat. Untuk alumni, mereka menginap di penginapan khusus dengan seorang ustadz, yang kami sebut dengan “Ghost House”, karena lingkungannya yang gelap dan menakutkan ketika malam tiba. Sebagian kakak kelas menginap di sebuah rumah yang dekat dengan masjid, kami menyebutnya “Al Ihsan”, dan sebagian lagi menginap di penginapan dekat kebun, kami menyebutnya “Villa Bon (Villa kebon)”. Sementara kelasku, sebagian ada yang menginap di Al Ihsan, sebagian lagi menginap di penginapan yang bernama “Amarta”. Lokasi penginapan kami berada di satu jalur kecuali penginapan alumni. Karenanya, tak sulit bagi kami untuk saling berkunjung.

            Aku dan teman-temanku memulai pelajaran pertama di ELFAST sehari setelah kedatangan kami di Pare. Bila dibandingkan dengan HEC, jarak ELFAST dari penginapan kami bisa dibilang cukup jauh, itupun harus ditempuh dengan berjalan kaki, karena koordinator kegiatan kami di Pare tidak mengizinkan kami untuk menyewa sepeda. Sebelum kami datang ke Pare, sebenarnya santri diperbolehkan untuk menyewa speda. Namun, karena suatu hal yang aku tak tahu, koordinator kegiatan melarang setiap santri untuk menyewa sepeda. Kalaupun ada santri yang punya keperluan di suatu tempat yang agak jauh, pihak Kafila menyewakan satu sepeda untuk digunakan bersama-sama.

            Kembali soal ELFAST. Hari pertama kami dimulai dengan tes Grammar. Tujuannya adalah, untuk memetakan sejauh mana kemampuan kami dalam memahami struktur bahasa Inggris dan kaidah-kaidah lainnya. Namun, sebagian besar soal yang diujikan hanya berupa Tenses. Semua soal yang diujikan kami kupas sedalam-dalamnya bersama tutor dalam waktu satu hari, dengan cara dan metode yang lebih praktis. Disana, kami belajar bahasa inggris mulai dari jam 7 pagi hingga dzuhur. Setelahnya, kami kembali ke penginapan untuk makan siang dan beristirahat hingga waktu Ashar. Setelah Ashar, kami harus kembali ke ELFAST untuk melanjutkan pelajaran hingga menjelang Maghrib. Disana, kami diajar oleh beberapa tutor yang memang berpengalaman dalam bidangnya. Untuk pelajaran Grammar, kami diajari oleh Mr. Anas dan Mr. Ali, sedangkan untuk pelajaran Speaking dan Conversation, kami diajari oleh Mr. Didin dan Mr. Galang.

Dari keempat tutor tersebut, Mr. Ali adalah tutor favorit kami. Di samping karena penjelasannya yang mudah dipahami, Mr. Ali memiliki gaya unik yang membuat kami betah belajar dengannya. Diantara celetukannya yng kuingat, bila salah seorang dari kami ada yang memang sengaja bandel, beliau sembari menirukan gaya orang marah namun aslinya bercanda akan berkata, “Waah, tak jotos kamu yaa..”. Alih-alih hendak memarahi, yang ada malah kami dibuat tertawa olehnya.

Perjalanan Satu Hari

            Beberapa pekan sebelum berangkat ke Pare, aku dan salah seorang temanku, Daffa, mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba mengeja dalam bahasa Inggris (Spelling Bee) yang diadakan oleh salah satu lembaga kursus bahasa Inggris ternama di Indonesia. Dan lomba itu diadakan tepat pada hari Ahad, di akhir pekan pertama kami belajar di Pare. Awalnya aku urung untuk mengikuti lomba ini, karena perjalanan yang harus ditempuh akan jauh sekali dan biaya yang harus dikeluarkan amat tidak sedikit, sementara kesepakatan yang dibuat oleh koordinator kegiatan kami adalah, kami tidak boleh mengikuti kegiatan apapun diluar belajar bahasa Inggris selama program studi di Pare masih berlangsung. Jadi, bisa dibilang kalau aku dan Daffa memaksa untuk mengikuti lomba ini, kami telah melanggar kesepakatan yang ada. Akupun sempat membujuk Daffa untuk mengurungkan niatnya mengikuti lomba Spelling Bee ini, karena kupikir, biaya daftar yang tak seberapa bukanlah masalah jika memang harus hangus. Akan tetapi, waktu itu Daffa tetap teguh pendirian, dan bersikeras mengajakku untuk ikut berlomba.

            Akhirnya, mau tak mau akupun mengalah. Kami mulai mengurus segala keperluannya, mulai dari perizinan, hingga tiket perjalanan pulang-pergi yang menghabiskan biaya sekitar 1 juta rupiah jika uangku dan uang Daffa digabungkan. Hanya untuk lomba selama satu hari dengan perjalanan yang tak kurang dari 9 jam. Koordinator kegiatan kami mulanya tak menyetujui kami untuk pergi. Namun, melihat kesungguhan niat dan usaha yang dilakukan sebagai persiapan, ditambah dengan bukti pembayaran tiket kereta yang sudah kami pegng, mau tak mau akhirnya beliau mengizinkan kami dengan syarat, aku dan Daffa harus sudah tiba lagi di Pare pada hari Senin, bagaimanapun caranya. Kami menyanggupi persyaratan itu.

            Pada hari Sabtu siang, aku dan Daffa, dengan diantar Ustadz Suriyadi dan Mas Hizbul, adik dari salah satu ustadz di Kafila, bertolak menuju stasiun Kediri. Dari sana, kami menaiki kereta ekonomi, yang tentunya akan menghabiskan perjalanan selama kurang lebih 14 jam. Kami berangkat pada siang harinya, dan baru tiba di jakarta keesokan harinya, ketika adzan Shubuh berkumandang. Aku dan Daffa menyempatkan diri untuk sholat shubuh berjama’ah disana, dan mengikuti kegiatan tahfidz meskipun tidak sampai selesai karena kamipun harus mempersiapkan diri kami, dan juga adik kelas kami yang sama-sama akan mengikuti lomba Spelling Bee ini.

            Sementara Daffa mempersiapkan diri dan adik kelas kami, aku berusaha menghubungi kasir di minimarket Pare yang melayani pemesanan tiket kereta kami. Pasalnya, sewaktu aku dan Daffa memesan tiket sebelum berangkat, sempat terjadi masalah teknis pada pencetakan bukti pembayarannya, sehingga bukti pembayaran tidak tercetak dengan sempurna. Lantas, kasir tersebut memberikan nomor ponselnya untuk dihubungi jika kami mengalami masalah nantinya. Namun sial, berkali-kali kuhubungi nomor kasir tersebut, tidak ada jawaban. Daripada menggerutu terus-menerus, aku memutuskan untuk berangkat ke stasiun Gambir, tempat kami akan berangkat ke Pare nantinya. Aku mendatangi salah satu guru, Ustadz Akso namanya, untuk meminta beliau mengantarku ke stasiun Gambir, karena mustahil untuk bisa mengejar waktu yang sempit ini jika aku menaiki kendaraan umum, sementara aku juga harus ikut perlombaan.

            Namun, yang kupikirkan saat itu hanyalah bagaimana caranya aku dan Daffa bisa kembali ke Pare dengan selamat dan lancar. Urusan aku tidak jadi ikut lomba nantinya, bukanlah masalah, karena aku sendiri sebenarnya sudah kehilangan minat untuk ikut lomba. Ustadz Akso bersedia mengantarku ke stasiun Gambir dengan motornya. DI tengah perjalanan, Daffa sempat menanyakan keberadaanku lewat ponsel dan memintaku untuk segera cepat, karena lomba hampir dimulai waktu itu. Kukatakan padanya dengan gaya bahasa khas pesantren, “Ente mending urusin aja dulu lomba ente. Ane kaga jadi ikut gara-gara telatpun gak masalah. Ane mau ngurus tiket dulu.”  Antara suaraku dan suara lalu lintas kota Jakarta bercampur jadi satu, karenanya aku harus sedikit berteriak di ponsel. Entah apa yang Daffa pikirkan, di saat genting begini dia lebih mementingkan lomba ketimbang masalah perjalanan pulang kami ke Pare. Aku merasa sedikit jengkel waktu itu. Kulirik kaca spion, mataku memerah. Bukan karena asap kendaraan, melainkan karena kurang tidur. Selama di kereta, aku tidak bisa tidur karena tempatnya benar-benar terbatas. Sempat aku tidur di gerbong makan, namun petugas disana mengusirku karena itu bukan gerbong untuk tidur.

            Singkatnya, aku berhasil menyelesaikan permasalahan tiket perjalanan pulang ke Pare, dan ketika aku menuju tempat lomba, aku masih bisa ikut meskipun aku tidak lolos babak penyisihan. Toh, niatku memang sudah berubah. Dari yang tadinya murni untuk ikut lomba, jadi niat hanya untuk mengantar Daffa. Beruntung, di akhir lomba, Daffa keluar sebagai juara 2. Jadi, perjalanan bolak-balik ini tidak sia-sia. Aku, Daffa, adik kelas kami yang juga ikut lomba, ditemani Ustadz Rudi dan Ustadz Andi yang waktu itu belum lama kembali dari Pare, juga ditemani ayah dari salah satu adik kelas kami, menghabiskan waktu makan siang bersama. Setelahnya, aku dan Daffa bersiap-siap untuk kembali ke Pare. Waktu menunjukkan pukul 3 sore lewat beberapa menit, sementara kereta kami datang pada pukul 5 sore. Setelah sholat Ashar, kami bergegas menuju stasiun.

            Awalnya, kami menumpang Transjakarta. Semua awalnya lancar. Namun, ketika kami harus transit di salah satu halte, bus lain yang hendak mengangkut kami tak kunjung datang sedangkan waktu terus berjalan cepat.  Jam menunjukkan pukul 4.30 sore dan kami masih menunggu. Akhirnya, kuputuskan untuk keluar dari halte dan mencari angkutan lain. Kami memilih Bajaj. Perjalanan kami masih belum selesai, karena ketika kami sudah mendekati komplek stasiun Gambir, kami terjebak macet. Bajaj yang kami tumpangi berhenti di tempat, diam tak bergerak saking padatnya kendaraan. Aku dan Daffa bergegas keluar Bajaj, membayar tarif lalu berlari menembus kemacetan lalu lintas. Masih ada sekitar 10-15 menit tersisa waktu itu dan kami tidak boleh terlambat.

            Akhirnya, dengan berpeluh dan nafas terengah-engah, akhirnya kami berhasil tiba di stasiun, kurang lebih beberapa menit sebelum kereta datang. Di dalam kereta, aku sempat menerima telepon dari kakakku yang menanyakan keberadaanku saat itu. Kukatakan padanya, semua urusan lancar. Tinggal menunggu waktu saja untuk kembali ke Pare, meskipun kami harus berhenti di Jombang terlebih dahulu. Perjalanan pulang kami jauh lebih cepat karena kami menumpang kereta kelas Eksekutif. Dalam waktu 10 jam, kami sudah sampai di stasiun Jombang, tepat ketika waktu Shubuh tiba. Setelah sholat shubuh disana, kami langsung menumpang ojek menuju Pare. Setelah 1 jam berjalan, akhirnya kami tiba juga di Pare, pukul 6 pagi. Kegiatan tahfidz sedang berlangsung.

            Alhamdulillah, what an everlasting trip. Shall we try it again sometime ?

            Penulis: Darumpaka Husna



kenali lebih jauh

Ngobrol sama kami kuy :)

Barangkali ada hal-hal yang ingin ditanyakan; perihal jodoh mungkin, atau mantan, atau pelajaran, atau pengalaman, atau hutang piutang dan lain sebagainya. Bisa diisi form di sebelah kanan untuk tanya-tanya, atau bila perlu langsung hubungi orangnya lewat sosial media yang sudah ditautkan dalam profil mereka. Kuy menjalin ukhuwah!

Alamat:

Jl. Raya Bogor KM.22 No.22, RT.11/RW.1, Rambutan, Ciracas, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13830

Telepon:

(021) 8400762