Never Ending Inspiring!

Figero adalah generasi kelima dari Kafila International Islamic School Jakarta (atau dalam Bahasa Inggris adalah Fifth Generation of Kafila IIS). Quote kami adalah Never Ending Inspiring!, karena visi kami yang ingin menginspirasi seluruh manusia terkhusus alumni dan santri Kafila International Islamic School. Anggota kami tersebar di banyak universitas, seperti ITB, UGM, UNS, UB, UII, UMY, UNSIKA, LIPIA, Ma'had Aly An-Nur, dan IAIN Syekh Nurjati.

Figero Infographic Website Kafila Video Wisuda

TENTANG KAMI

Visi

Menjadi alumni Kafila International Islamic School yang tangguh, berwawasan luas, berakhlak karimah, serta bermental survivor di setiap lini kehidupan.

Misi

Selalu totalitas dalam belajar dan bekerja, serta senantiasa berusaha untuk menjadi yang terbaik dari yang terbaik.

Kompetensi

Hafal Al-Qur'an, paham kitab-kitab literasi Arab, menguasai ilmu diniyah dan kauniyah, ber-skill tinggi dalam setiap bidang yang ditekuni, serta berakhlak mulia.

Filosofi

Never Ending Inspiring! Dengan harapan bahwa kebaikan, kemampuan, dan pengalaman kami bisa menjadi inspirasi bagi semua orang.

KISAH KAMI

Sabtu, 06 Mei 2017

AII: Pengalaman


Bicara tentang pengalaman, sebenarnya begitu banyak pengalaman yang bisa diceritakan apalagi berbicara pengalaman ketika mondok itu banyak sekali pengalaman yang didapat, baik itu pengalaman yang manis maupun pahit semuanya terkumpul menjadi satu. Karena bisa dibayangkan begitu mungilnya saya bersama teman teman yang masih berusia dini sekitar 12-13 tahun pada tanggal 25 Juli tahun 2010 kami masuk pondok bersama sama seusia itu kami sudah dituntut untuk jauh dari rumah,  jauh dari orang tua dan dituntut secara mau maupun tidak mau untuk menghadapi hidup serta menata kehidupan sendiri dalam 6 tahun kedepan yang kelak akan melahirkan  sifat kemandirian.  Begitu panjang perjalanan saya bersama teman teman dalam menyelesaikan pendidikan di pondok selama 6 tahun, suka dan duka kita rasakan bersama sama. Manis pahitnya kita rasakan bersama sama.
Sedikit menceritakan tentang pondok Kafila, pondok Kafila terletak di Jalan Raya Bogor KM 22 Ciracas-Jakarta timur,  pondok Kafila ini terletak di pusat keramaian ibukota jakarta, karena letak pondok Kafila ini sangat dekat dengan tempat tempat yang menjadi kunjungan banyak orang dari luar jakarta, seperti sebuah pasar yang besar yang dikenal dengan Pasar Induk Kramat Jati yang konon katanya menjadi pasar tradisional terbesar di asia tenggara, kafila juga dekat Taman Mini Indonesia Indah (TMII)  yang sudah banyak dikenal oleh orang indonesia, lalu juga dekat dengan Ragunan sebuah kebun binatang yang sangat terkenal di Jakarta, dan masih banyak lagi. Pondok kafila ini baru berdiri menjadi pondok sekitar tahun 2006 dengan angkatan 1 kurang lebih berjumlah 12 orang (kalau tidak salah J ) hingga saat ini 2017 ini sudah melahirkan alumni 5 angkatan. Pondok kafila ini didirikan oleh seseorang yang sekaligus menjadi penyumbang donasi terbesar yang saat ini menjadi pembina yayasan Kafila Thoyyiba (kalau belum ganti J). Beliau adalah Bpk. Ir.  H. Abdullah Mas’ud  (semoga selalu diberikan keberkahan didunia maupun di akherat). Yang berkat bantuan beliau Kafila menjadi pondok pesantren yang berbasis beasiswa full selama 6 tahun dan melahirkan generasi generasi muslim yang berprestasi. Pondok kafila tidak semata mata langsung berdiri menjadi sebuah pondok pesantren melainkan melalui beberapa perjuangan. Kafila dulu bukanlah sebuah pondok ,dulu (entah tahun berapa yang jelas sebelum 2006)  kafila hanyalah tempat tinggal sekaligus tempat didikan orang orang yang putus sekolah. Itu semua karena rasa kepedulian Bpk Abdullah Mas’ud terhadap kurangnya kualitas pendidikan anak anak dari keluarga yang tidak mampu di indonesia, hingga terlahirlah sebuah pesantren yang berbasis beasiswa full selama 6 tahun pada tahun 2006.
 Pada awal masuk,  kami berjumlah 20 orang, 20 orang itu bukan minimnya peminat di pondok kami melainkan 20 rang itu hasil akhir seleksi melalui beberapa seleksi yang akhirnya terkumpulah 20 orang terpilih, yang insyaallah memang dipilih oleh Allah untuk menjalin satu ikatan ukhuwah yang tidak hanya berteman sampai akhir hayat melainkan sampai syurganya kelak kita bersama sama kembali. Amiin. Seiring berjalannya waktu satu persatu sahabat sahabat kami memisahkan diri karena alasan dan tujuan masing masing . Mereka itu ialah Farij, Imam, Vicko, Wildan. Sahabat sahabat kami ini memisahkan diri pada saat jenjang SMP, ya setengah perjalan kami, kami sudah kehilangan 4 sahabat terbaik, baru berjalan 3 tahun mereka sudah memisahkan diri untuk alasan dan tujuan masing masing. Memang sedih ketika melihat sahabat itu tak akan lagi bersama kembali tetapi kami tak boleh terbawa suasana hati karena bagi kami, kami masih mempunyai 16 sahabat terbaik yang harus terjaga kesolidan dan kekompakannya. Lalu ketika kami memasuki jenjang SMA kami dipertemukan dengan 3 sahabat baru kami, yang insyaallah sengaja pilihkan untuk bergabung bersama kami. Mereka ialah Azka, Juma , dan Fauzan. Mereka sama seperti kami yang sekolah SMP nya berasal dari dari mahad atau pesantren yang berbeda beda tetapi kini kita menjadi satu almamater Kafila. Seiring berjalannya waktu ketika setelah menjalani masa SMA 1 tahun tibalah saya merasa kejenuhan serta ketidak betahan , pada tahun ini saya memutuskan untuk mundur dan memisahkan diri dari teman teman karena saya merasa memang tidak bisa mengikuti proses bersama teman teman. Tetapi bukan berarti saya melupakan teman teman hanya saja saya memutuskan untuk pindah sekolah. Akhirnya kenaikan kelas 2 SMA saya memutuskan untuk pindah ke sekolah lain yang masih bernotabene pesantren . Sejak itulah saya tidak tahu perkembangan dari teman teman saya tetapi terkadang saya mendapat berita satu persatu teman telah menamatkan hafalan Qurannya, ketika mendengar itu benar benar ada rasa sangat senang walau ada sedikit kekecewaan karena saya tidak bisa bersama sama berjuang untuk menamatkan hafalan Quran . Tetapi bukan berarti saya berhenti untuk menghafal Quran hanya saja menghafal dengan tempo yang agak lamban.
Sedikit pengalaman yang bisa ceritakan, yaitu pengalaman ketika saya masih awal awal mondok di Kafila, mungkin sekitar sebulan atau 2 bulan. Sebenarnya pengalaman ini pengalaman yang tidak patut di contoh tetapi saya memilih pengalaman ini karena saya merasa pengalaman di pondok yang paling mengenang adalah pengalaman ketika kami masih awal awal di pondok, ketika masih bocah yang baru mondok. Pada saat itu saya bersama sebagian teman teman saya merasa jenuh di pondok dan ingin merasakan hiburan di luar , saya bersama teman teman kalau tidak salah sebut saja Adib, Mushab, Thoha, dan Akmal pada saat itu kami berencana ingin refreshing bermain game online di warnet padahal dalam peraturan pondok pesantren warnet itu dilarang tetapi karena rasa jenuh dan sifat kebocahan kami kami nekat untuk melakukannya. Seperti biasanya, libur mingguan dalam pondok kami ialah hari Jumat, pada hari itu , hari Jumat kami izin keluar tetapi kami menyalahkan perizinan untuk bisa ke warnet . Tibalah kami di warnet dan pada saat itu syukurnya warnet sepi karena anak anak sekolah masih kegiatan KBM. Kami bermain warnet sekitar 3 jam (kalo gak salah). singkat cerita kami selesai dari refreshing kami dan langsung balik pulang ke pondok kami. Selama di perjalanan kami memikirkan alasan dan cara cara agar tidak ketauhan kalau kami baru saja dari warnet, kami mendapat ide untuk beralasan jalan jalan dan membeli jajan di tempat yang jauh. Dengan membeli sepelastik gorengan untuk jaga jaga meyakinkan argumen kami. Akhirnya kami tiba di pesantren dengan membawa sepelastik gorengan. Kami berjalan memisah agar tidak dicurigai pikir kami waktu itu. Kami melewati kantor guru yang letaknya pada saat itu bisa dibilang dekat dengan gerbang. Tetapi ternyata kenyataan tak seperti ekspetasi yang kita khayalkan. Kami sudah memikirkan cara cara yang begitu matang tetapi ternyata tetap saja ketauhan oleh sang kepala bagian asrama ialah Ustad Nur Hamdi, beliau dikenal menyeramkan ketika benar benar marah. Kami dipanggil semua untuk menghadap, lalu kami di tanyai satu persatu, dan yang membuat saya ngakak ketika mengingatnya itu alasan dari setiap kami berbeda beda tak seperti yang direncanakan. Karena pada dasarnya kami memikirkan alasan bohong masing masing apa yang bisa dipercaya . Singkat cerita kami ketauhan karena pada saat itu kami tidak satu alasan dan ketauhan sekali berbohong, akhirnya kami dihukum dari kepala asrama dengan hukuman yang sudah dikenal oleh kalanga santri yaitu hukuman gundul (kalau tidak salah , karena sudah terlalu sering dihukum hihi J). Itulah sedikit pengalaman saya ketika mondok di Kafila.
  Kesan saya terhadap kafila begitu banyak terkesan untuk saya . walau hanya mondok selama 4 tahun di kafila tetapi begitu berasa untuk saya. Kesan saya  terhadap kafila saya merasa sangat senang bisa mempunyai teman teman yang insyaallah Allah pertemukan kembali di syurganya nanti. Amiin. Teman teman yang selalu berlomba dalam kebaikan, teman teman yang selalu itsar(mengalah) untuk temannya sendiri. Pokoknya kesan saya, saya rindu dengan perteman kalian wahai teman teman. Moga moga kalian selalu diistiqomahkan Allah untuk selalu di jalan yang diridhoinya. Amiin.

Sekian coretan yang saya buat mohon maaf jika banyak didapati kesalahan karena saya baru mengerjakannya pada deadline waktu pengumpulan, karena terburu buru mungkin banyak didapati kesalahan. Pesan saya terakhir untuk teman teman ‘See You On Top’ moga sukses dunia dan akherat. Amiin.
Penulis: Abdullah Izzul Islam

DH: Tahun Ketiga


OPKIIS Junior

            Seusai Idul Fitri 2012. Bagiku, tahun ketiga di Kafila adalah tahun yang paling berkesan. Begitu banyak pengalaman yang membekas dan meninggalkan kesan mendalam. Diawali dengan adanya kegiatan studi di Kampung Inggris Pare yang melibatkan hampir semua santri senior dan beberapa guru. Rombongan belajar Kafila dibagi menjadi beberapa gelombang. Gelombang pertama diikuti oleh semua santri SMA, alumni angkatan pertama Kafila, dan beberapa guru kami, seperti Ustadz Rudi (guru matematika), Ustadz Andi (guru Bahasa Indonesia), Ustadz Furqon (guru Bahasa Inggris), dan beberapa guru tahfidz seperti Ustadz Khosyi, Ustadz Suriyadi, dan Ustadz Zain. Sisanya aku lupa. Sementara gelombang kedua hanya diikuti oleh kelasku, tentunya setelah kelas XII kembali dari sana. Adapun gelombang ketiga, akan diikuti oleh kelas VIII SMP, meskipun gelombang yang satu ini baru akan berjalan pada semester mendatang.

            Dengan adanya kegiatan studi ke Kampung Inggris selama 3 bulan, secara otomatis roda kepengurusan organisasi (OPKIIS) harus ada yang menggantikan sementara. Aku dan beberapa temanku dari kelas IX dan sebagian santri kelas VIII diminta kepala asrama untuk menjalankan roda kepengurusan OPKIIS sementara. Hanya beberapa bagian penting saja yang akan tetap berjalan, seperti konsumsi, bahasa, peribadatan, logistik, kedisiplinan, dan kebersihan. Adapun bagian lain seperti jurnalistik, dan bagian-bagian yang jarang berkiprah, untuk sementara dinon-aktifkan. Kepengurusan OPKIIS yang kami jalani, kami sebut “OPKIIS junior”.

            Aku sendiri diberi amanah untuk memegang bagian Dikjar (Kependidikan & Pengajaran) yang membawahi bagian peribadatan yang dipegang oleh Naufal dan Basyir, dan bagian bahasa yang dipegang oleh Syahid dan Daffa. Selain membawahi bagian bahasa dan peribadatan, akupun memiliki tugas khusus, yaitu mendisiplinkan santri sebelum masuk kelas, mulai dari kedisiplinan seragam dan kehadiran di waktu upacara. Luqman, sudah tak diragukan lagi dia menjadi ketuanya. Kami dikukuhkan sebagai pengurus OPKIIS junior pada saat upacara apel pagi berlangsung. Selama OPKIIS junior menjalani tugasnya, tidak ada program yang ditambah. Kami hanya menjalankan program yang sudah ada. Seperti misalnya pada bagian bahasa, kami hanya berfokus pada program muhadatsah dan pencatatan pelanggaran bahasa, sementara bagian peribadatan berfokus pada penjadwalan imam sholat serta muadzin. Sekali waktu, bagian peribadatan juga mengadakan khataman Alquran.

            Ketika santri SMA berangkat ke Pare, kami merasa sedikit lebih bebas, khususnya kelasku. Karena tidak ada senior yang mengatur kami selain para guru. OPKIIS junior merasa leluasa untuk bisa berkiprah. Jika sebelumnya kami dilarang untuk keluar pada malam hari, maka ketika menjabat sebagai pengurus OPKIIS junior kami bisa memanfaatkan momen ini untuk bisa keluar malam, menikmati suasana di luar sembari membeli keperluan organisasi.

Berangkat ke Kampung Inggris

            Sebulan kemudian, kelasku akhirnya mendapat giliran untuk bisa berangkat ke Kampung Inggris. Beberapa hari sebelum keberangkatan, guru bahasa Arab kami, Syaikh Abdurrahman memberikan kami selembar kertas besar yang diisi dengan pesan-pesan penting untuk kami. Selain itu, beliau juga berpesan kepada kami agar tidak melupakan bahasa Arab yang sudah dipelajari sekalipun kami berada di kampung Inggris. Kami berangkat dengan ditemani Ustadz Dhani dan Ustadz Achmad Alwasim. Dari Stasiun Tanah Abang yang penuh sesak oleh orang-orang, kami berangkat menuju Kampung Inggris. Seumur hidupku, baru kali ini aku berkunjung ke daerah Jawa Timur. Sebelumnya, daerah terjauh yang pernah kukunjungi adalah Purbalingga,itupun ketika aku masih kelas 5 SD. Perjalanan ke Kampung Inggris memakan waktu sekitar 16 jam, karena kereta yang kami tumpangi berhenti di banyak stasiun, ditambah dengan mobil yang kami tumpangi dari stasiun sempat mengalami masalah di jalan. Kami berangkat dari Jakarta hari Sabtu sore, dan tiba di Kampung Inggris hari Ahad siang. Yang kubayangkan tentang Kampung Inggris waktu itu adalah, semua warganya berbicara menggunakan bahasa Inggris, baik mereka yang merupakan warga asli maupun pendatang. Namun, semua itu tidak benar sepenuhnya. Warga asli Kampung Inggris justru malah berbicara menggunakan bahasa Jawa. Membingungkan memang.

            Sembari beristirahat setelah perjalanan panjang, aku sempat berjalan-jalan sejenak untuk melihat suasana di kampung ini. Lingkungannya memang masih segar seperti kampung-kampung pada umumnya, hanya saja disini lembaga-lembaga kursus bahasa asing banyak berdiri. Dan jangan bayangkan lembaga kursus di Pare semewah lembaga kursus yang ada di kota-kota. Disini, sebagian besar lembaga kursus bahasa asing tidak jauh berbeda dengan rumah warga. Bedanya, rumah yang menyediakan program kursus dipasang spanduk dengan nama-nama yang variatif, seperti Mr. Bob, Valliant, Rhyma, Simple English Club, Webster, dan lain-lain. DIantara sekian banyak lembaga kursus yang ada, lembaga kursus tertua disini adalah BEC (Basic English Course)  yang dikepalai oleh Mr. Kalend Ossen. BEC meluluskan banyak alumni yang di kemudian hari mereka ikut mendirikan lembaga kursus sendiri, hingga jumlahnya menjamur sampai saat ini. Sebagian dari mereka ada yang mengabdikan dirinya di BEC, sebagian pula ada yang mengabdikan diri di lembaga kursus yang lain.

            Selain lembaga kursus, rumah yang mnyediakan jasa laundry juga menjamur disini dengan harga yang saling bersaing. Harga laundry termurah yang pernah kutahu ada di Muslim Laundry. Untuk setiap kilo pakaian yang akan dicuci, harganya hanya Rp 2.500,-.
Jauh berbeda dengan Jakarta yang per kilo pakaian dihargai Rp 7.000,-. Toko buku pun tak mau ketinggalan. Disini, buku-buku referensi pelajar bahasa Inggris dihargai tak lebih dari Rp 20.000,-. Kamus saku Oxford saja, yang kutahu biasanya seharga Rp 90.000,-, disini bisa dihargai Rp 10.000 saja, tentunya dengan kuaitas kertas dan sampul yang berbeda dengan aslinya. Di sepanjang jalan yang terdapat lembaga kursusnya, kulihat para penjual bakso keliling dan cilok (disini cilok biasa disebut Pentol), serta Pempek berjejeran. Sungguh menyenangkan suasana di kampung ini.

Puas berkeliling, aku mengikuti acara pelepasan santri kelas XII yang akan kembali ke Kafila. Mereka pulang, kami datang.

            Memang, program studi bahasa Inggris untuk kelas kami ( IX ) dan kelas XII hanya sebulan, mengingat kami juga harus mempersiapkan diri untuk menghadapi Ujian Nasional. Sementara kelas X dan XI harus mengikuti program bahasa Inggris selama 3 bulan, dan untuk alumni selama 6 bulan. Jika kakak kelas  dikursuskan di lembaga bernama Happy English Course (HEC), kelasku dikursuskan di lembaga ELFAST (English Language as Foreigner Application Standard). Di Pare, penginapan kami dibagi menjadi beberapa tempat. Untuk alumni, mereka menginap di penginapan khusus dengan seorang ustadz, yang kami sebut dengan “Ghost House”, karena lingkungannya yang gelap dan menakutkan ketika malam tiba. Sebagian kakak kelas menginap di sebuah rumah yang dekat dengan masjid, kami menyebutnya “Al Ihsan”, dan sebagian lagi menginap di penginapan dekat kebun, kami menyebutnya “Villa Bon (Villa kebon)”. Sementara kelasku, sebagian ada yang menginap di Al Ihsan, sebagian lagi menginap di penginapan yang bernama “Amarta”. Lokasi penginapan kami berada di satu jalur kecuali penginapan alumni. Karenanya, tak sulit bagi kami untuk saling berkunjung.

            Aku dan teman-temanku memulai pelajaran pertama di ELFAST sehari setelah kedatangan kami di Pare. Bila dibandingkan dengan HEC, jarak ELFAST dari penginapan kami bisa dibilang cukup jauh, itupun harus ditempuh dengan berjalan kaki, karena koordinator kegiatan kami di Pare tidak mengizinkan kami untuk menyewa sepeda. Sebelum kami datang ke Pare, sebenarnya santri diperbolehkan untuk menyewa speda. Namun, karena suatu hal yang aku tak tahu, koordinator kegiatan melarang setiap santri untuk menyewa sepeda. Kalaupun ada santri yang punya keperluan di suatu tempat yang agak jauh, pihak Kafila menyewakan satu sepeda untuk digunakan bersama-sama.

            Kembali soal ELFAST. Hari pertama kami dimulai dengan tes Grammar. Tujuannya adalah, untuk memetakan sejauh mana kemampuan kami dalam memahami struktur bahasa Inggris dan kaidah-kaidah lainnya. Namun, sebagian besar soal yang diujikan hanya berupa Tenses. Semua soal yang diujikan kami kupas sedalam-dalamnya bersama tutor dalam waktu satu hari, dengan cara dan metode yang lebih praktis. Disana, kami belajar bahasa inggris mulai dari jam 7 pagi hingga dzuhur. Setelahnya, kami kembali ke penginapan untuk makan siang dan beristirahat hingga waktu Ashar. Setelah Ashar, kami harus kembali ke ELFAST untuk melanjutkan pelajaran hingga menjelang Maghrib. Disana, kami diajar oleh beberapa tutor yang memang berpengalaman dalam bidangnya. Untuk pelajaran Grammar, kami diajari oleh Mr. Anas dan Mr. Ali, sedangkan untuk pelajaran Speaking dan Conversation, kami diajari oleh Mr. Didin dan Mr. Galang.

Dari keempat tutor tersebut, Mr. Ali adalah tutor favorit kami. Di samping karena penjelasannya yang mudah dipahami, Mr. Ali memiliki gaya unik yang membuat kami betah belajar dengannya. Diantara celetukannya yng kuingat, bila salah seorang dari kami ada yang memang sengaja bandel, beliau sembari menirukan gaya orang marah namun aslinya bercanda akan berkata, “Waah, tak jotos kamu yaa..”. Alih-alih hendak memarahi, yang ada malah kami dibuat tertawa olehnya.

Perjalanan Satu Hari

            Beberapa pekan sebelum berangkat ke Pare, aku dan salah seorang temanku, Daffa, mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba mengeja dalam bahasa Inggris (Spelling Bee) yang diadakan oleh salah satu lembaga kursus bahasa Inggris ternama di Indonesia. Dan lomba itu diadakan tepat pada hari Ahad, di akhir pekan pertama kami belajar di Pare. Awalnya aku urung untuk mengikuti lomba ini, karena perjalanan yang harus ditempuh akan jauh sekali dan biaya yang harus dikeluarkan amat tidak sedikit, sementara kesepakatan yang dibuat oleh koordinator kegiatan kami adalah, kami tidak boleh mengikuti kegiatan apapun diluar belajar bahasa Inggris selama program studi di Pare masih berlangsung. Jadi, bisa dibilang kalau aku dan Daffa memaksa untuk mengikuti lomba ini, kami telah melanggar kesepakatan yang ada. Akupun sempat membujuk Daffa untuk mengurungkan niatnya mengikuti lomba Spelling Bee ini, karena kupikir, biaya daftar yang tak seberapa bukanlah masalah jika memang harus hangus. Akan tetapi, waktu itu Daffa tetap teguh pendirian, dan bersikeras mengajakku untuk ikut berlomba.

            Akhirnya, mau tak mau akupun mengalah. Kami mulai mengurus segala keperluannya, mulai dari perizinan, hingga tiket perjalanan pulang-pergi yang menghabiskan biaya sekitar 1 juta rupiah jika uangku dan uang Daffa digabungkan. Hanya untuk lomba selama satu hari dengan perjalanan yang tak kurang dari 9 jam. Koordinator kegiatan kami mulanya tak menyetujui kami untuk pergi. Namun, melihat kesungguhan niat dan usaha yang dilakukan sebagai persiapan, ditambah dengan bukti pembayaran tiket kereta yang sudah kami pegng, mau tak mau akhirnya beliau mengizinkan kami dengan syarat, aku dan Daffa harus sudah tiba lagi di Pare pada hari Senin, bagaimanapun caranya. Kami menyanggupi persyaratan itu.

            Pada hari Sabtu siang, aku dan Daffa, dengan diantar Ustadz Suriyadi dan Mas Hizbul, adik dari salah satu ustadz di Kafila, bertolak menuju stasiun Kediri. Dari sana, kami menaiki kereta ekonomi, yang tentunya akan menghabiskan perjalanan selama kurang lebih 14 jam. Kami berangkat pada siang harinya, dan baru tiba di jakarta keesokan harinya, ketika adzan Shubuh berkumandang. Aku dan Daffa menyempatkan diri untuk sholat shubuh berjama’ah disana, dan mengikuti kegiatan tahfidz meskipun tidak sampai selesai karena kamipun harus mempersiapkan diri kami, dan juga adik kelas kami yang sama-sama akan mengikuti lomba Spelling Bee ini.

            Sementara Daffa mempersiapkan diri dan adik kelas kami, aku berusaha menghubungi kasir di minimarket Pare yang melayani pemesanan tiket kereta kami. Pasalnya, sewaktu aku dan Daffa memesan tiket sebelum berangkat, sempat terjadi masalah teknis pada pencetakan bukti pembayarannya, sehingga bukti pembayaran tidak tercetak dengan sempurna. Lantas, kasir tersebut memberikan nomor ponselnya untuk dihubungi jika kami mengalami masalah nantinya. Namun sial, berkali-kali kuhubungi nomor kasir tersebut, tidak ada jawaban. Daripada menggerutu terus-menerus, aku memutuskan untuk berangkat ke stasiun Gambir, tempat kami akan berangkat ke Pare nantinya. Aku mendatangi salah satu guru, Ustadz Akso namanya, untuk meminta beliau mengantarku ke stasiun Gambir, karena mustahil untuk bisa mengejar waktu yang sempit ini jika aku menaiki kendaraan umum, sementara aku juga harus ikut perlombaan.

            Namun, yang kupikirkan saat itu hanyalah bagaimana caranya aku dan Daffa bisa kembali ke Pare dengan selamat dan lancar. Urusan aku tidak jadi ikut lomba nantinya, bukanlah masalah, karena aku sendiri sebenarnya sudah kehilangan minat untuk ikut lomba. Ustadz Akso bersedia mengantarku ke stasiun Gambir dengan motornya. DI tengah perjalanan, Daffa sempat menanyakan keberadaanku lewat ponsel dan memintaku untuk segera cepat, karena lomba hampir dimulai waktu itu. Kukatakan padanya dengan gaya bahasa khas pesantren, “Ente mending urusin aja dulu lomba ente. Ane kaga jadi ikut gara-gara telatpun gak masalah. Ane mau ngurus tiket dulu.”  Antara suaraku dan suara lalu lintas kota Jakarta bercampur jadi satu, karenanya aku harus sedikit berteriak di ponsel. Entah apa yang Daffa pikirkan, di saat genting begini dia lebih mementingkan lomba ketimbang masalah perjalanan pulang kami ke Pare. Aku merasa sedikit jengkel waktu itu. Kulirik kaca spion, mataku memerah. Bukan karena asap kendaraan, melainkan karena kurang tidur. Selama di kereta, aku tidak bisa tidur karena tempatnya benar-benar terbatas. Sempat aku tidur di gerbong makan, namun petugas disana mengusirku karena itu bukan gerbong untuk tidur.

            Singkatnya, aku berhasil menyelesaikan permasalahan tiket perjalanan pulang ke Pare, dan ketika aku menuju tempat lomba, aku masih bisa ikut meskipun aku tidak lolos babak penyisihan. Toh, niatku memang sudah berubah. Dari yang tadinya murni untuk ikut lomba, jadi niat hanya untuk mengantar Daffa. Beruntung, di akhir lomba, Daffa keluar sebagai juara 2. Jadi, perjalanan bolak-balik ini tidak sia-sia. Aku, Daffa, adik kelas kami yang juga ikut lomba, ditemani Ustadz Rudi dan Ustadz Andi yang waktu itu belum lama kembali dari Pare, juga ditemani ayah dari salah satu adik kelas kami, menghabiskan waktu makan siang bersama. Setelahnya, aku dan Daffa bersiap-siap untuk kembali ke Pare. Waktu menunjukkan pukul 3 sore lewat beberapa menit, sementara kereta kami datang pada pukul 5 sore. Setelah sholat Ashar, kami bergegas menuju stasiun.

            Awalnya, kami menumpang Transjakarta. Semua awalnya lancar. Namun, ketika kami harus transit di salah satu halte, bus lain yang hendak mengangkut kami tak kunjung datang sedangkan waktu terus berjalan cepat.  Jam menunjukkan pukul 4.30 sore dan kami masih menunggu. Akhirnya, kuputuskan untuk keluar dari halte dan mencari angkutan lain. Kami memilih Bajaj. Perjalanan kami masih belum selesai, karena ketika kami sudah mendekati komplek stasiun Gambir, kami terjebak macet. Bajaj yang kami tumpangi berhenti di tempat, diam tak bergerak saking padatnya kendaraan. Aku dan Daffa bergegas keluar Bajaj, membayar tarif lalu berlari menembus kemacetan lalu lintas. Masih ada sekitar 10-15 menit tersisa waktu itu dan kami tidak boleh terlambat.

            Akhirnya, dengan berpeluh dan nafas terengah-engah, akhirnya kami berhasil tiba di stasiun, kurang lebih beberapa menit sebelum kereta datang. Di dalam kereta, aku sempat menerima telepon dari kakakku yang menanyakan keberadaanku saat itu. Kukatakan padanya, semua urusan lancar. Tinggal menunggu waktu saja untuk kembali ke Pare, meskipun kami harus berhenti di Jombang terlebih dahulu. Perjalanan pulang kami jauh lebih cepat karena kami menumpang kereta kelas Eksekutif. Dalam waktu 10 jam, kami sudah sampai di stasiun Jombang, tepat ketika waktu Shubuh tiba. Setelah sholat shubuh disana, kami langsung menumpang ojek menuju Pare. Setelah 1 jam berjalan, akhirnya kami tiba juga di Pare, pukul 6 pagi. Kegiatan tahfidz sedang berlangsung.

            Alhamdulillah, what an everlasting trip. Shall we try it again sometime ?

            Penulis: Darumpaka Husna



PERSEBARAN

17 Kota Asal
Dari Kepahiang sampai Bima
23 Santri
Meski beberapa datang dan pergi
10 Perguruan Tinggi
Dari ilmu diniyah dan kauniyah

FIGERO SQUAD

Abdullah Izzul Islam
Tangerang
Abyan Muwaffaq
Pekalongan
Ahmad Azka
Pasuruan
Ahmad Ghaffar Fauzi
Bontang
Darumpaka Husna
Cirebon
Faiz Jihad Rabbani
Wonosobo
Hisbullah A. Akmal A.
Surabaya
Imam Syafiur Ridlo
Kendal
Jumaruddin
Purwodadi
Luqman Rachman Hakim
Jakarta Timur
Mas'ud Nur Hanif
Klaten
M. Adib Hakim
Temanggung
M. Daffa Al-Falah
Kepahiang
M. Fauzan Hamzah
Makassar
M. Farij
Cirebon
M. Ilham Dewanto
Temanggung

kenali lebih jauh

Ngobrol sama kami kuy :)

Barangkali ada hal-hal yang ingin ditanyakan; perihal jodoh mungkin, atau mantan, atau pelajaran, atau pengalaman, atau hutang piutang dan lain sebagainya. Bisa diisi form di sebelah kanan untuk tanya-tanya, atau bila perlu langsung hubungi orangnya lewat sosial media yang sudah ditautkan dalam profil mereka. Kuy menjalin ukhuwah!

Alamat:

Jl. Raya Bogor KM.22 No.22, RT.11/RW.1, Rambutan, Ciracas, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13830

Telepon:

(021) 8400762