OPKIIS Junior
Seusai
Idul Fitri 2012. Bagiku, tahun ketiga di Kafila adalah tahun yang
paling berkesan. Begitu banyak pengalaman yang membekas dan meninggalkan kesan
mendalam. Diawali dengan adanya kegiatan studi di Kampung Inggris Pare yang
melibatkan hampir semua santri senior dan beberapa guru. Rombongan belajar
Kafila dibagi menjadi beberapa gelombang. Gelombang pertama diikuti oleh semua
santri SMA, alumni angkatan pertama Kafila, dan beberapa guru kami, seperti
Ustadz Rudi (guru matematika), Ustadz Andi (guru Bahasa Indonesia), Ustadz
Furqon (guru Bahasa Inggris), dan beberapa guru tahfidz seperti Ustadz Khosyi,
Ustadz Suriyadi, dan Ustadz Zain. Sisanya aku lupa. Sementara gelombang kedua
hanya diikuti oleh kelasku, tentunya setelah kelas XII kembali dari sana.
Adapun gelombang ketiga, akan diikuti oleh kelas VIII SMP, meskipun gelombang
yang satu ini baru akan berjalan pada semester mendatang.
Dengan
adanya kegiatan studi ke Kampung Inggris selama 3 bulan, secara otomatis roda
kepengurusan organisasi (OPKIIS) harus ada yang menggantikan sementara. Aku dan
beberapa temanku dari kelas IX dan sebagian santri kelas VIII diminta kepala
asrama untuk menjalankan roda kepengurusan OPKIIS sementara. Hanya beberapa
bagian penting saja yang akan tetap berjalan, seperti konsumsi, bahasa,
peribadatan, logistik, kedisiplinan, dan kebersihan. Adapun bagian lain seperti
jurnalistik, dan bagian-bagian yang jarang berkiprah, untuk sementara
dinon-aktifkan. Kepengurusan OPKIIS yang kami jalani, kami sebut “OPKIIS
junior”.
Aku
sendiri diberi amanah untuk memegang bagian Dikjar (Kependidikan &
Pengajaran) yang membawahi bagian peribadatan yang dipegang oleh Naufal dan Basyir, dan bagian bahasa yang dipegang oleh Syahid dan Daffa. Selain membawahi bagian bahasa dan
peribadatan, akupun memiliki tugas khusus, yaitu mendisiplinkan santri sebelum
masuk kelas, mulai dari kedisiplinan seragam dan kehadiran di waktu upacara.
Luqman, sudah tak diragukan lagi dia menjadi ketuanya. Kami dikukuhkan sebagai
pengurus OPKIIS junior pada saat upacara apel pagi berlangsung. Selama OPKIIS
junior menjalani tugasnya, tidak ada program yang ditambah. Kami hanya
menjalankan program yang sudah ada. Seperti misalnya pada bagian bahasa, kami
hanya berfokus pada program muhadatsah dan pencatatan pelanggaran
bahasa, sementara bagian peribadatan berfokus pada penjadwalan imam sholat
serta muadzin. Sekali waktu, bagian peribadatan juga mengadakan khataman
Alquran.
Ketika santri SMA
berangkat ke Pare, kami merasa sedikit lebih bebas, khususnya kelasku. Karena
tidak ada senior yang mengatur kami selain para guru. OPKIIS junior merasa
leluasa untuk bisa berkiprah. Jika sebelumnya kami dilarang untuk keluar pada
malam hari, maka ketika menjabat sebagai pengurus OPKIIS junior kami bisa
memanfaatkan momen ini untuk bisa keluar malam, menikmati suasana di luar
sembari membeli keperluan organisasi.
Berangkat ke
Kampung Inggris
Sebulan kemudian, kelasku
akhirnya mendapat giliran untuk bisa berangkat ke Kampung Inggris. Beberapa
hari sebelum keberangkatan, guru bahasa Arab kami, Syaikh Abdurrahman
memberikan kami selembar kertas besar yang diisi dengan pesan-pesan penting
untuk kami. Selain itu, beliau juga berpesan kepada kami agar tidak melupakan
bahasa Arab yang sudah dipelajari sekalipun kami berada di kampung Inggris. Kami
berangkat dengan ditemani Ustadz Dhani dan Ustadz Achmad Alwasim. Dari Stasiun
Tanah Abang yang penuh sesak oleh orang-orang, kami berangkat menuju Kampung
Inggris. Seumur hidupku, baru kali ini aku berkunjung ke daerah Jawa Timur.
Sebelumnya, daerah terjauh yang pernah kukunjungi adalah Purbalingga,itupun
ketika aku masih kelas 5 SD. Perjalanan ke Kampung Inggris memakan waktu
sekitar 16 jam, karena kereta yang kami tumpangi berhenti di banyak stasiun,
ditambah dengan mobil yang kami tumpangi dari stasiun sempat mengalami masalah
di jalan. Kami berangkat dari Jakarta hari Sabtu sore, dan tiba di Kampung
Inggris hari Ahad siang. Yang kubayangkan tentang Kampung Inggris waktu itu
adalah, semua warganya berbicara menggunakan bahasa Inggris, baik mereka yang
merupakan warga asli maupun pendatang. Namun, semua itu tidak benar sepenuhnya.
Warga asli Kampung Inggris justru malah berbicara menggunakan bahasa Jawa.
Membingungkan memang.
Sembari beristirahat
setelah perjalanan panjang, aku sempat berjalan-jalan sejenak untuk melihat
suasana di kampung ini. Lingkungannya memang masih segar seperti
kampung-kampung pada umumnya, hanya saja disini lembaga-lembaga kursus bahasa
asing banyak berdiri. Dan jangan bayangkan lembaga kursus di Pare semewah
lembaga kursus yang ada di kota-kota. Disini, sebagian besar lembaga kursus
bahasa asing tidak jauh berbeda dengan rumah warga. Bedanya, rumah yang
menyediakan program kursus dipasang spanduk dengan nama-nama yang variatif,
seperti Mr. Bob, Valliant, Rhyma, Simple English Club, Webster, dan lain-lain.
DIantara sekian banyak lembaga kursus yang ada, lembaga kursus tertua disini
adalah BEC (Basic English Course) yang
dikepalai oleh Mr. Kalend Ossen. BEC meluluskan banyak alumni yang di kemudian
hari mereka ikut mendirikan lembaga kursus sendiri, hingga jumlahnya menjamur
sampai saat ini. Sebagian dari mereka ada yang mengabdikan dirinya di BEC,
sebagian pula ada yang mengabdikan diri di lembaga kursus yang lain.
Selain lembaga kursus,
rumah yang mnyediakan jasa laundry juga menjamur disini dengan harga yang
saling bersaing. Harga laundry termurah yang pernah kutahu ada di Muslim
Laundry. Untuk setiap kilo pakaian yang akan dicuci, harganya hanya Rp 2.500,-.
Jauh berbeda dengan Jakarta yang per kilo pakaian dihargai Rp 7.000,-.
Toko buku pun tak mau ketinggalan. Disini, buku-buku referensi pelajar bahasa
Inggris dihargai tak lebih dari Rp 20.000,-. Kamus saku Oxford saja, yang
kutahu biasanya seharga Rp 90.000,-, disini bisa dihargai Rp 10.000 saja,
tentunya dengan kuaitas kertas dan sampul yang berbeda dengan aslinya. Di
sepanjang jalan yang terdapat lembaga kursusnya, kulihat para penjual bakso
keliling dan cilok (disini cilok biasa disebut Pentol), serta Pempek berjejeran.
Sungguh menyenangkan suasana di kampung ini.
Puas berkeliling, aku mengikuti acara pelepasan
santri kelas XII yang akan kembali ke Kafila. Mereka pulang, kami datang.
Memang, program studi
bahasa Inggris untuk kelas kami ( IX ) dan kelas XII hanya sebulan, mengingat
kami juga harus mempersiapkan diri untuk menghadapi Ujian Nasional. Sementara
kelas X dan XI harus mengikuti program bahasa Inggris selama 3 bulan, dan untuk
alumni selama 6 bulan. Jika kakak kelas dikursuskan di lembaga bernama Happy English
Course (HEC), kelasku dikursuskan di lembaga ELFAST (English Language as
Foreigner Application Standard). Di Pare, penginapan kami dibagi menjadi
beberapa tempat. Untuk alumni, mereka menginap di penginapan khusus dengan
seorang ustadz, yang kami sebut dengan “Ghost House”, karena lingkungannya yang
gelap dan menakutkan ketika malam tiba. Sebagian kakak kelas menginap di sebuah
rumah yang dekat dengan masjid, kami menyebutnya “Al Ihsan”, dan sebagian lagi
menginap di penginapan dekat kebun, kami menyebutnya “Villa Bon (Villa kebon)”.
Sementara kelasku, sebagian ada yang menginap di Al Ihsan, sebagian lagi
menginap di penginapan yang bernama “Amarta”. Lokasi penginapan kami berada di
satu jalur kecuali penginapan alumni. Karenanya, tak sulit bagi kami untuk
saling berkunjung.
Aku dan teman-temanku
memulai pelajaran pertama di ELFAST sehari setelah kedatangan kami di Pare.
Bila dibandingkan dengan HEC, jarak ELFAST dari penginapan kami bisa dibilang
cukup jauh, itupun harus ditempuh dengan berjalan kaki, karena koordinator
kegiatan kami di Pare tidak mengizinkan kami untuk menyewa sepeda. Sebelum kami
datang ke Pare, sebenarnya santri diperbolehkan untuk menyewa speda. Namun,
karena suatu hal yang aku tak tahu, koordinator kegiatan melarang setiap santri
untuk menyewa sepeda. Kalaupun ada santri yang punya keperluan di suatu tempat
yang agak jauh, pihak Kafila menyewakan satu sepeda untuk digunakan
bersama-sama.
Kembali soal ELFAST. Hari
pertama kami dimulai dengan tes Grammar. Tujuannya adalah, untuk memetakan
sejauh mana kemampuan kami dalam memahami struktur bahasa Inggris dan
kaidah-kaidah lainnya. Namun, sebagian besar soal yang diujikan hanya berupa
Tenses. Semua soal yang diujikan kami kupas sedalam-dalamnya bersama tutor
dalam waktu satu hari, dengan cara dan metode yang lebih praktis. Disana, kami
belajar bahasa inggris mulai dari jam 7 pagi hingga dzuhur. Setelahnya, kami
kembali ke penginapan untuk makan siang dan beristirahat hingga waktu Ashar.
Setelah Ashar, kami harus kembali ke ELFAST untuk melanjutkan pelajaran hingga
menjelang Maghrib. Disana, kami diajar oleh beberapa tutor yang memang
berpengalaman dalam bidangnya. Untuk pelajaran Grammar, kami diajari oleh Mr.
Anas dan Mr. Ali, sedangkan untuk pelajaran Speaking dan Conversation, kami
diajari oleh Mr. Didin dan Mr. Galang.
Dari keempat tutor tersebut, Mr. Ali adalah tutor
favorit kami. Di samping karena penjelasannya yang mudah dipahami, Mr. Ali
memiliki gaya unik yang membuat kami betah belajar dengannya. Diantara
celetukannya yng kuingat, bila salah seorang dari kami ada yang memang sengaja
bandel, beliau sembari menirukan gaya orang marah namun aslinya bercanda akan
berkata, “Waah, tak jotos kamu yaa..”. Alih-alih hendak memarahi, yang
ada malah kami dibuat tertawa olehnya.
Perjalanan Satu Hari
Beberapa pekan sebelum berangkat ke Pare,
aku dan salah seorang temanku, Daffa, mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba
mengeja dalam bahasa Inggris (Spelling Bee) yang diadakan oleh salah satu
lembaga kursus bahasa Inggris ternama di Indonesia. Dan lomba itu diadakan
tepat pada hari Ahad, di akhir pekan pertama kami belajar di Pare. Awalnya aku
urung untuk mengikuti lomba ini, karena perjalanan yang harus ditempuh akan
jauh sekali dan biaya yang harus dikeluarkan amat tidak sedikit, sementara
kesepakatan yang dibuat oleh koordinator kegiatan kami adalah, kami tidak boleh
mengikuti kegiatan apapun diluar belajar bahasa Inggris selama program studi di
Pare masih berlangsung. Jadi, bisa dibilang kalau aku dan Daffa memaksa untuk
mengikuti lomba ini, kami telah melanggar kesepakatan yang ada. Akupun sempat
membujuk Daffa untuk mengurungkan niatnya mengikuti lomba Spelling Bee ini,
karena kupikir, biaya daftar yang tak seberapa bukanlah masalah jika memang
harus hangus. Akan tetapi, waktu itu Daffa tetap teguh pendirian, dan
bersikeras mengajakku untuk ikut berlomba.
Akhirnya, mau tak mau
akupun mengalah. Kami mulai mengurus segala keperluannya, mulai dari perizinan,
hingga tiket perjalanan pulang-pergi yang menghabiskan biaya sekitar 1 juta
rupiah jika uangku dan uang Daffa digabungkan. Hanya untuk lomba selama satu
hari dengan perjalanan yang tak kurang dari 9 jam. Koordinator kegiatan kami
mulanya tak menyetujui kami untuk pergi. Namun, melihat kesungguhan niat dan
usaha yang dilakukan sebagai persiapan, ditambah dengan bukti pembayaran tiket
kereta yang sudah kami pegng, mau tak mau akhirnya beliau mengizinkan kami
dengan syarat, aku dan Daffa harus sudah tiba lagi di Pare pada hari Senin,
bagaimanapun caranya. Kami menyanggupi persyaratan itu.
Pada hari Sabtu siang, aku
dan Daffa, dengan diantar Ustadz Suriyadi dan Mas Hizbul, adik dari salah satu
ustadz di Kafila, bertolak menuju stasiun Kediri. Dari sana, kami menaiki
kereta ekonomi, yang tentunya akan menghabiskan perjalanan selama kurang lebih
14 jam. Kami berangkat pada siang harinya, dan baru tiba di jakarta keesokan
harinya, ketika adzan Shubuh berkumandang. Aku dan Daffa menyempatkan
diri untuk sholat shubuh berjama’ah disana, dan mengikuti kegiatan tahfidz
meskipun tidak sampai selesai karena kamipun harus mempersiapkan diri kami, dan
juga adik kelas kami yang sama-sama akan mengikuti lomba Spelling Bee ini.
Sementara
Daffa mempersiapkan diri dan adik kelas kami, aku berusaha menghubungi kasir di
minimarket Pare yang melayani pemesanan tiket kereta kami. Pasalnya, sewaktu
aku dan Daffa memesan tiket sebelum berangkat, sempat terjadi masalah teknis
pada pencetakan bukti pembayarannya, sehingga bukti pembayaran tidak tercetak
dengan sempurna. Lantas, kasir tersebut memberikan nomor ponselnya untuk
dihubungi jika kami mengalami masalah nantinya. Namun sial, berkali-kali
kuhubungi nomor kasir tersebut, tidak ada jawaban. Daripada menggerutu terus-menerus,
aku memutuskan untuk berangkat ke stasiun Gambir, tempat kami akan berangkat ke
Pare nantinya. Aku mendatangi salah satu guru, Ustadz Akso namanya, untuk
meminta beliau mengantarku ke stasiun Gambir, karena mustahil untuk bisa
mengejar waktu yang sempit ini jika aku menaiki kendaraan umum, sementara aku
juga harus ikut perlombaan.
Namun,
yang kupikirkan saat itu hanyalah bagaimana caranya aku dan Daffa bisa kembali
ke Pare dengan selamat dan lancar. Urusan aku tidak jadi ikut lomba nantinya,
bukanlah masalah, karena aku sendiri sebenarnya sudah kehilangan minat untuk
ikut lomba. Ustadz Akso bersedia mengantarku ke stasiun Gambir dengan motornya.
DI tengah perjalanan, Daffa sempat menanyakan keberadaanku lewat ponsel dan memintaku untuk segera cepat,
karena lomba hampir dimulai waktu itu. Kukatakan padanya dengan gaya bahasa
khas pesantren, “Ente mending urusin aja dulu lomba ente. Ane kaga jadi ikut
gara-gara telatpun gak masalah. Ane mau ngurus tiket dulu.” Antara suaraku dan suara lalu lintas kota
Jakarta bercampur jadi satu, karenanya aku harus sedikit berteriak di ponsel. Entah apa yang Daffa pikirkan, di saat
genting begini dia lebih mementingkan lomba ketimbang masalah perjalanan pulang
kami ke Pare. Aku merasa sedikit jengkel waktu itu. Kulirik kaca spion, mataku memerah. Bukan karena asap kendaraan, melainkan
karena kurang tidur. Selama di kereta, aku tidak bisa tidur karena tempatnya
benar-benar terbatas. Sempat aku tidur di gerbong makan, namun petugas disana
mengusirku karena itu bukan gerbong untuk tidur.
Singkatnya,
aku berhasil menyelesaikan permasalahan tiket perjalanan pulang ke Pare, dan
ketika aku menuju tempat lomba, aku masih bisa ikut meskipun aku tidak lolos
babak penyisihan. Toh, niatku memang sudah berubah. Dari yang tadinya murni
untuk ikut lomba, jadi niat hanya untuk mengantar Daffa. Beruntung, di akhir
lomba, Daffa keluar sebagai juara 2. Jadi, perjalanan bolak-balik ini tidak
sia-sia. Aku, Daffa, adik kelas kami yang
juga ikut lomba, ditemani Ustadz Rudi dan Ustadz Andi yang waktu itu belum lama
kembali dari Pare, juga ditemani ayah dari salah satu adik kelas kami,
menghabiskan waktu makan siang bersama. Setelahnya, aku dan Daffa bersiap-siap
untuk kembali ke Pare. Waktu menunjukkan pukul 3 sore lewat beberapa menit, sementara
kereta kami datang pada pukul 5 sore. Setelah sholat Ashar, kami bergegas
menuju stasiun.
Awalnya,
kami menumpang Transjakarta. Semua awalnya lancar. Namun, ketika kami harus
transit di salah satu halte, bus lain yang hendak mengangkut kami tak kunjung
datang sedangkan waktu terus berjalan cepat.
Jam menunjukkan pukul 4.30 sore dan kami masih menunggu. Akhirnya,
kuputuskan untuk keluar dari halte dan mencari angkutan lain. Kami memilih
Bajaj. Perjalanan kami masih belum selesai, karena ketika kami sudah mendekati
komplek stasiun Gambir, kami terjebak macet. Bajaj yang kami tumpangi berhenti
di tempat, diam tak bergerak saking padatnya kendaraan. Aku dan Daffa bergegas
keluar Bajaj, membayar tarif lalu berlari menembus kemacetan lalu lintas. Masih
ada sekitar 10-15 menit tersisa waktu itu dan kami tidak boleh terlambat.
Akhirnya,
dengan berpeluh dan nafas terengah-engah, akhirnya kami berhasil tiba di
stasiun, kurang lebih beberapa menit sebelum kereta datang. Di dalam kereta,
aku sempat menerima telepon dari kakakku yang menanyakan keberadaanku saat itu.
Kukatakan padanya, semua urusan lancar. Tinggal menunggu waktu saja untuk
kembali ke Pare, meskipun kami harus berhenti di Jombang terlebih dahulu. Perjalanan
pulang kami jauh lebih cepat karena kami menumpang kereta kelas Eksekutif.
Dalam waktu 10 jam, kami sudah sampai di stasiun Jombang, tepat ketika waktu
Shubuh tiba. Setelah sholat shubuh disana, kami langsung menumpang ojek menuju
Pare. Setelah 1 jam berjalan, akhirnya kami tiba juga di Pare, pukul 6 pagi.
Kegiatan tahfidz sedang berlangsung.
Alhamdulillah,
what an everlasting trip. Shall we try it again sometime ?
Penulis: Darumpaka Husna